Scatter Pink

Scatter Hitam

rokokbet

BET4D

scatter hitam

SCATTER PINK

,

Batavia: ‘Kapal Karam Terburuk’ dengan Kisah yang Jauh Lebih Mencekam

adminajaib Avatar
Batavia: 'Kapal Karam Terburuk' dengan Kisah yang Jauh Lebih Mencekam

Pantai barat Australia menyimpan segudang rahasia kelam, terkubur di bawah pasir dan ombak. Salah satu kisah paling mengerikan dan membekas dalam sejarah maritim dunia adalah tragedi kapal Batavia.

Lebih dari sekadar sebuah kapal karam, peristiwa ini adalah sebuah potret mengerikan tentang ambisi manusia, kekejaman, dan perjuangan untuk bertahan hidup.

Pada tahun 1629, kapal dagang Belanda, Batavia, melakukan pelayaran perdananya menuju Hindia Belanda. Namun, nasib sial menimpa kapal ini ketika kandas di terumbu karang di Kepulauan Houtman Abrolhos, sebuah gugusan pulau terpencil di lepas pantai Australia Barat.

Kecelakaan ini menjadi awal dari sebuah saga kelam yang akan terus menghantui ingatan manusia.

Penemuan arkeologis terbaru telah mengungkap detail-detail mengerikan dari peristiwa ini. Kuburan massal para korban, senjata darurat, benteng batu, dan tiang gantungan adalah bukti nyata dari penderitaan yang dialami para penyintas.

Alistair Paterson, seorang arkeolog dari University of Western Australia, menyatakan bahwa penemuan-penemuan ini memberikan “wawasan material yang tidak bisa diperoleh dengan cara lain”.

“Mungkin ini adalah peristiwa karam kapal paling terkenal dalam sejarah Australia,” kata Kieran Hosty, seorang kurator di Australian National Maritime Museum, seperti dilansir laman National Geographic. “Ini adalah kisah pertumpahan darah yang luar biasa.”

Kisah pelayaran maut

Tahun 1629, kapal Batavia, sebuah kapal layar besar milik perusahaan dagang Belanda, Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), tengah berlayar menuju Hindia Belanda membawa harapan dan impian para penumpangnya. Namun, nasib berkata lain.

Pada dini hari tanggal 4 Juni, kapal tersebut menabrak terumbu karang di Kepulauan Houtman Abrolhos, sebuah gugusan pulau yang tandus dan terpencil di lepas pantai barat Australia.

Sekitar 300 jiwa berhasil menyelamatkan diri dan mengungsi ke sebuah pulau kecil yang kemudian dikenal sebagai Pulau Beacon. Di tengah kepanikan dan keterasingan, mereka berharap akan segera mendapat pertolongan.

Beberapa hari kemudian, komandan kapal dan sejumlah awak pilihan berangkat dengan perahu kecil menuju Batavia untuk meminta bantuan. Namun, di pulau itu, benih-benih kejahatan mulai tumbuh subur.

Di antara para penyintas, terdapat seorang tokoh yang haus kekuasaan bernama Jeronimus Cornelisz. Ia merupakan orang ketiga dalam hierarki komando di kapal Batavia dan telah lama merencanakan pemberontakan.

Dengan memanfaatkan kekacauan pasca karam, Cornelisz berhasil mengumpulkan sejumlah pengikut setia. Ketika kapal Batavia hancur berkeping-keping, ia dan kelompoknya bergabung dengan para penyintas di Pulau Beacon.

Cornelisz menyadari bahwa rencananya terbongkar. Para penyintas lainnya curiga dan khawatir akan tindakan balasan ketika komandan kapal kembali. Untuk mengamankan kekuasaannya, Cornelisz memerintahkan pengikutnya untuk menyita semua senjata dan membuangnya ke pulau-pulau di sekitar.

Tak berhenti sampai di situ, ia kemudian melancarkan aksi kekejaman yang tak terbayangkan. Lebih dari 100 jiwa, termasuk wanita dan anak-anak, menjadi korban pembantaian sadis atau dijadikan budak.

Selama lima bulan, Pulau Beacon berubah menjadi neraka duniawi di bawah kekuasaan despotik Cornelisz. Para penyintas hidup dalam ketakutan dan penderitaan. Namun, keadilan akhirnya datang.

Sebuah kapal penyelamat dari Batavia berhasil menemukan mereka. Cornelisz dan enam orang pengikut setianya ditangkap dan digantung di Pulau Long pada Oktober 1629, menandai eksekusi pertama yang tercatat dalam sejarah Australia.

Antara kehausan, penyakit, dan kekerasan

Penemuan bangkai kapal Batavia pada tahun 1963 membuka tabir sejarah kelam pelayaran Belanda di abad ke-17 itu.

Penggalian ekstensif yang dilakukan selama beberapa dekade berikutnya, terutama pada tahun 1970-an, telah mengungkap gambaran mengerikan tentang nasib para penumpang dan awak kapal yang terdampar di pulau-pulau terpencil di lepas pantai Australia Barat.

Pada tahun 2014 hingga 2019, sebuah tim arkeologi pimpinan Paterson melakukan penelitian intensif di kawasan ini. Salah satu penemuan paling mengejutkan adalah sebuah kuburan massal berisi sekitar selusin individu di Pulau Beacon.

Analisis awal menunjukkan bahwa mereka kemungkinan besar meninggal akibat dehidrasi parah atau penyakit menular yang mewabah di pulau tersebut. Kuburan ini kemungkinan dibuat sebelum hadirnya para pemberontak yang mengambil alih kendali.

Kuburan-kuburan lain yang ditemukan di lokasi yang berbeda menunjukkan bukti kuat adanya kekerasan massal. Korban-korban pembunuhan ini dikuburkan secara tergesa-gesa di kuburan dangkal, namun dengan tata letak yang relatif teratur.

Beberapa individu bahkan dimakamkan bersama barang-barang pribadi mereka, seperti sendok timah, sisir, dan manik-manik amber, yang mengindikasikan bahwa mereka mungkin berasal dari kalangan yang lebih tinggi di dalam hierarki kapal.

Ketiadaan tanda-tanda trauma fisik yang jelas pada kerangka-kerangka ini menunjukkan bahwa para korban kemungkinan besar dibunuh secara diam-diam atau tidak melawan.

Paterson mengatakan analisis isotop dan tes lainnya kini akan dilakukan pada sisa-sisa tubuh untuk mengetahui lebih lanjut tentang orang-orang yang dimakamkan di sana.

Sebelum dibunuh, banyak korban pembantaian ini diasingkan ke Pulau Long, yang terletak tidak jauh dari Pulau Beacon. Para pemberontak yang telah mengambil alih kendali kapal melakukan pembunuhan massal secara sistematis, seringkali dengan jumlah korban yang mencapai belasan orang dalam sekali waktu.

Untuk menghilangkan jejak kejahatan mereka, para pelaku membuang jasad korban ke laut. Seperti yang diungkapkan oleh Paterson, “Ada upaya untuk mencoba menyembunyikannya.”

Perlawanan mematikan

Para arkeolog juga telah menciptakan model 3D fotogrammetri dari sebuah bangunan batu di Pulau West Wallabi – sisa-sisa perlawanan yang tak terduga terhadap para pemberontak.

Sekelompok sekitar 20 tentara Belanda, yang telah dilucuti senjatanya oleh Cornelisz, dibuang ke Pulau West Wallabi, pulau terbesar di gugusan Kepulauan Houtman Abrolhos, sebagai hukuman.

Terdampar di pulau terpencil ini, para tentara tersebut awalnya putus asa. Namun, keberuntungan masih berpihak pada mereka. Mereka berhasil menemukan sumber air tawar dan makanan, berupa walabi tammar—marsupial endemik Australia yang baru pertama kali ditemui oleh orang Eropa.

Tak lama kemudian, para tentara ini bertemu dengan sekelompok penyintas lain yang berhasil melarikan diri dari Pulau Beacon, sebuah pulau terdekat. Bersama-sama, mereka memutuskan untuk melawan para pemberontak yang mengejar mereka. Dalam dua serangan terpisah, penduduk Pulau West Wallabi berhasil mengusir pasukan Cornelisz.

Menurut laporan komandan kapal, para tentara Belanda yang terdampar telah menunjukkan keberanian yang luar biasa. Mereka membuat senjata darurat dari bahan-bahan yang ada di sekitar mereka, seperti lingkaran dan paku yang diikat pada tongkat.

Senjata serupa juga ditemukan oleh para arkeolog di Pulau Long, berupa gada yang terbuat dari timah yang dilipat, dengan lubang untuk paku yang menonjol.

Bukti fisik yang paling mengerikan dari perlawanan ini adalah ditemukannya sisa-sisa tiang gantungan di Pulau Long. Di sinilah Cornelisz dan para pengikutnya yang kalah dalam pertempuran digantung setelah tangan mereka dipotong—sebuah hukuman yang umum di Belanda pada masa itu.

Dua orang pemberontak lainnya, yang dianggap kurang bersalah, diasingkan ke daratan utama Australia. Mereka menjadi orang Eropa pertama yang menetap secara permanen di benua ini, namun nasib mereka setelah itu tidak diketahui.

Kisah tragis dari Pulau West Wallabi ini telah menarik perhatian para sejarawan dan masyarakat luas, bahkan menjadi subjek sebuah opera.

Hosty dari museum nasional mengatakan kisah yang sering kali didukung oleh warga Australia Barat ini menunjukkan bahwa sejarah awal kolonisasi Eropa di Australia jauh lebih kompleks dan penuh kekerasan daripada yang sering digambarkan..

Paterson menambahkan bahwa selama ini, penjelajahan Kapten Cook pada tahun 1770-an sering dianggap sebagai titik awal sejarah Australia. Namun, penemuan di Pulau West Wallabi membuktikan bahwa ada banyak peristiwa penting lainnya yang terjadi jauh sebelum itu.

adminajaib Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Author Profile
toto 4d

John Doe

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam.

Search