Migrasi Austronesia ke Indonesia terjadi sekitar 4.000 tahun yang lalu dari Taiwan. Proses migrasi ini melibatkan percampuran kebudayaan dengan masyarakat yang telah ada sebelumnya.
Penutur bahasa Austronesia terkenal dengan kepiawaiannya membuat teknologi pelayaran yang canggih. Tampaknya, berdasarkan laporan sebelumnya, pengenalan buritan pada perahu yang khas dengan kebudayaan Austronesia diwariskan kepada masyarakat Papua sampai hari ini.
Sebuah studi terbaru di PNAS membahas kelanjutan migrasi manusia dari sisi timur. Secara genetika, para peneliti mendapati adanya gerakan migrasi dari Pulau Papua menuju kawasan Wallacea atau kawasan tengah Indonesia yang meliputi Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, dan Kepulauan Maluku.
Penelitian tersebut bertajuk “The genetic origins and impacts of historical Papuan migrations into Wallacea” yang diterbitkan Oktober 2024. Para peneliti mendapati bahwa pergerakan migrasi dari Papua menuju kawasan Wallacea berlangsung sejak 3.500 tahun terakhir.
Secara kronologi sejarah, periode ini sama dengan proses bermigrasinya penutur Austronesia yang aktif berbaur dengan masyarakat di Wallacea dan Papua. Artinya, dalam sejarah migrasi manusia modern di Indonesia, penutur Austronesia bukan satu-satunya kelompok yang aktif menyebar, melainkan kelompok lainnya seperti Papua.
“Studi komprehensif ini memberikan konfirmasi bahwa leluhur Papua tersebar luas di seluruh Wallacea, yang menunjukkan migrasi historis dari Pulau Papua,” kata Gludhug Ariyo Purnomo, penulis pertama studi dari The Environment Institute, School of Biological Sciences, The University of Adelaide, Australia.
Bukti migrasi dari Papua ke Wallacea
Penelitian ini tidak hanya mengandalkan bukti genetik. Para peneliti menganalisis peninggalan arkeologi dan bukti linguistik.
“Dengan menghubungkan titik-titik antara genetika, linguistik, dan arkeologi, kami sekarang mengakui Papua Barat sebagai pusat bio-budaya yang penting dan tempat berlayarnya pelaut Papua dalam sejarah yang sekarang berkontribusi hingga 60 persen dari leluhur masyarakat Wallacea modern,” lanjutnya di Eurekalert.
Secara linguistik, salah satu kata yang dipakai dalam analisis mengenai petunjuk migrasi dari Papua ke Wallacea adalah istilah “kuskus”. Kuskus adalah mamalia berkantung, bermata bundar, bertelinga kecil, dan pemanjat pohon yang aktif di malam hari.
Hari ini, kuskus tersebar di Wallacea, Papua, dan Australia. Sejatinya, hewan ini endemik Papua yang kemungkinan, menurut para peneliti, persebarannya melewati translokasi yang dilakukan manusia, sehingga memperkenalkan istilah kuskus di Timor.
Dugaan translokasi ini dikaitkan dengan migrasi secara genomik yang tumpang tindih ke Wallacea berbarengan dengan kedatangan pelaut Austronesia.
Secara arkeologis, di kawasan Wallacea terdapat tanda-tanda pergantian populasi dan pergerakan yang meningkat setelah kedatangan pelau Austronesia.
Pergantian ini diperkirakan memuncak berkat konflik antarklan atau warga seiring terbentuknya jaringan perdagangan rempah di Asia Tenggara. Hal ini mendorong percampuran awal di kawasan Wallacea dan memperkuat jaringan dari kawasan timur dan tengah Indonesia.
“Ada juga begitu banyak pergerakan di Wallacea dalam beberapa ribu tahun terakhir, karena perdagangan rempah-rempah dan perbudakan, sehingga mengaburkan hubungan antara geografi dan genetika,” kata Raymond Tobler, salah satu rekan penulis dari The Environment Institute, School of Biological Sciences, The University of Adelaide.
“Apa yang kita ketahui tentang Wallacea dan Nugini hanyalah puncak gunung es, tetapi penggunaan DNA purba dapat membantu mengatasi sebagian tantangan ini dan membantu kita memahami asal-usul dan warisan perjalanan manusia ke wilayah tersebut yang telah berlangsung puluhan ribu tahun.” tambahnya.
Leave a Reply