Akan tiba saatnyaasal-usul manusia dan sejarahnya dijelaskan,” sebuah kutipan dari Charles Darwin dalam bukunya yang terbit pada 1871, The Descent of Man. Kata-kata itu terlintas di benak saya ketika menyaksikan pameran temporer di Museum Nasional sebulan silam. Tajuknya dikemas sensasional, ‘Indonesia, The Oldest Civilization on Earth? 130 Years After Pithecanthropus Erectus’.
Apa yang dipamerkan memang bukan perkara baru, namun bagi saya semacam perziarahan agung. Sebuah kesempatan langka ketika menyaksikan fragmen empat fosil tempurung kepala Homo erectus dari koleksi dua museum. Salah satunya si ganteng “Sangiran 17″—satu-satunya spesies ini yang memiliki wajah sehingga rekonstruksi parasnya tersebar di seluruh penjuru dunia.
Mereka menghuni Bumi sekitar 1,5 juta sampai 300 ribu tahun silam, dikenal sebagai manusia purba pertama yang menjelajah keluar dari Afrika, termasuk menjinakkan api untuk memasak. Fosil-fosil itu menjadi aspek penjelas mata rantai yang hilang dalam evolusi manusia awal menuju manusia modern. Sangi-ran—sebagai situs manusia purba warisan dunia—dan situs sekitarnya telah menyumbang separuh jumlah fosil spesies ini di seluruh dunia!
Kita pun bisa mengikuti perjalanan evolusi manusia dari perkembangan pra-Australopithecus, Australopithecus, sampai genus Homo dalam From Lucy to Languange. Salah satu buku terbaik yang menampilkan aspek visual fosil-fosil tempurung kepala dari penjuru dunia—termasuk Indonesia—dalam ukuran sesungguhnya. Evolusi tengkorak manusia mencerminkan perkembang–an anatomi dan fungsi otak yang mendukung kemampuan berbahasa yang kompleks.
Kini, kita berpikir ulang tentang nasib spesies kita sendiri. Semakin sadar pada diri sendiri, berakalbudi, semakin berdaya cipta, semakin prigel berteknologi. Atas keragaman budaya di Bumi, kita berbangga dengan hasil evolusi yang memukau.

Namun, kenapa belakangan kita tumbuh menjadi spesies yang semena-mena terhadap alam dan sesama? Padahal, Carl Linneaus saat menjuluki generasi pewaris Bumi sebagai Homo sapiens, mengharapkan sosok yang bijak dan berwawasan. Evolusi menunjukkan pelajaran untuk menjadi manusia yang manusiawi, sebelum kita punah dan digantikan spesies lain.
Kisah “Memburu Manusia Lain” dalam edisi Februari ini mengungkap temuan arkeologi di Gua Kobra, Laos, berupa fosil-fosil dan kemajuan analisis DNA yang mengubah pemahaman kita tentang evolusi manusia. Ada gambaran baru tentang interaksi antara manusia modern awal dan spesies lain yang hidup pada masa yang sama.
Kita adalah satu-satunya manusia yang tersisa di Bumi saat ini. Namun, pada satu titik kita berbagi hidup dengan spesies manusia leluhur lainnya, yang semuanya dikenal sebagai hominin. Saat peluang iklim dan ekologis berganti, hominin bermigrasi keluar dari Afrika, terhubung kembali dan kawin silang dengan keturunan kerabat mereka yang telah melakukan perjalanan serupa ribuan tahun sebelumnya.
Kami juga menampilkan sosok ahli arkeologi BRIN, Adhi Agus Oktaviana, yang menekuni gambar cadas purba di gua-gua Nusantara, yang tampil dalam Inovator edisi ini. “Kita harus berbangga diri sebagai orang Indonesia,” ungkapnya. “Nenek moyang kita tuh bukan hanya seorang pelaut, tapi ya seorang penggambar yang bagus juga.”
Ada kisah menarik dari temuan gigi-geligi milik perempuan yang dimakamkan di Liang Bangkai pada 5.000 tahun silam, Kalimantan Selatan. Kepala Pusat Riset Arkeometri BRIN Sofwan Noerwidi menyingkapnya, “Gigimu adalah identitasmu. Gigi tidak hanya sekadar gigi, tetapi gigi itu ekspresi fenotipe dari karakter populasi, yang kode gennya disimpan di dalam tubuh.”
Saya ingin mengungkapkan kepada Anda bahwa edisi ini merupakan salah satu edisi yang memiliki sampul bersejarah. Setelah dua dekade berselang, akhirnya kami bangga bisa menampilkan kembali karya Paleoartis John Gurche sebagai sampul National Geographic Indonesia.
Kita tentu masih ingat, sampul edisi perdana National Geographic Indonesia menampilkan wajah Homo floresiensis yang merupakan hasil rekonstruksi Gurche, sosok yang pernah berperan sebagai konsultan film Jurrasic Park pada era 1990-an. Tampilnya karya rekonstruksi Gurche seolah turut merayakan 20 tahun National Geographic Indonesia.
Jatmiko, seorang ahli arkeologi senior BRIN yang pernah turut mengekskavasi Mama Flo di Liang Bua, Flores, mengatakan kepada saya tentang hasil rekonstruksi Gurche yang menampakkan detail pori-pori kulit sehingga tampak lebih hidup di habitat tropis. “Dari beberapa hasil rekonstruksi Mama Flo, sepertinya rekonstruksi National Geographic yang paling mendekati.”
Apakah Anda penasaran, siapakah sosok yang direkonstruksi Gurche pada edisi ini? Ia merekonstruksi dari sebuah tengkorak berusia 146.000 tahun yang ditemukan di timur laut Tiongkok, dan diyakini sebagai Denisovan—manusia lain yang hidup sezaman dengan leluhur manusia modern. Sebelum kita, setidaknya terdapat enam spesies manusia di Bumi. Temuan baru dan sains menulis ulang sejarah evolusi manusia.
Apa resep Gurch sehingga hasil rekonstruksinya begitu memukau? Ketika penugasan pertamanya sekitar tiga dekade silam, ia berkomentar, “Saya ingin memberikan jiwa manusia ke dalam wajah seperti kera ini untuk menunjukkan sesuatu tentang ke mana dia akan menuju.”
Leave a Reply